Friday, 4 July 2014

Kecewa

"Aku sudah biasa dikecewakan. Nampaknya kali ini aku sudah kebal. Kekecewaan memang akan terus melanda, aku sudah pernah mengalami yang lebih berat dari pada ini" -NH

Sunday, 25 May 2014

Laporan Kunjungan Ke Monumen Pers Nasional

Destinasi ke-2 study tour setelah Lokananta yaitu Monumen Pers. Kunjungan ini sekaligus mengakhiri perjalanan kami di Solo. Monumen Pers merupakan tempat yang cukup lengkap soal dunia jurnalisme. Di dalamnya terdapat banyak hal seputar jurnalisme dan sejarahnya. Terdapat semacam museum pers di Monumen Pers dengan koleksi-koleksi dan diorama-diorama seputar sejarah pers. Tidak hanya memperlihatkan koleksi-koleksi, di dalam Monumen Pers juga terdapat perpustakaan.

Gedung Monumen Pers cabang Surakarta awalnya adalah Rumah Makan. Lalu diresmikan menjadi Monumen Pers Nasional pada tanggal 9 Februari 1978. Peresmian tersebut dihadiri oleh Presiden Soeharto. Selanjutnya, Monumen Pers Nasional ini dikelola oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers. Dalam perkembangan berikutnya, yaitu pada tahun 2002, Monumen Pers Nasional ditetapkan menjadi  Unit Pelaksana Teknis di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Saat ini, Monumen Pers berdiri dia atas sebuah lahan dan mencakup empat unit bangunan permanen. Masing-masing satu gedung induk untuk Convention Hall, dua unit berlantai dua. Lalu ada lagi satu gedung di belakang yang diperuntukkan sebagai ruang perkantoran.

Di dalam Monumen Pers terdapat banyak koleksi yang berhubungan dengan sejarah pers. Misalnya saja koleksi mesin pemancar radio, mesin ketik, pakaian dan koleksi sastrawan dan wartawan seperti Trisno Yuwono, Hendro Subroto, H. Sumartoyo, kamera milik Fuad Muhammad Syafruddin, Abdul Anang Hamidan, K. Nadha, dan lain-lain.

Tidak hanya koleksi-koleksi barang saja, diorama juga dipamerkan di dalam Monumen Pers ini. Diorama-diorama yang ada adalah diorama tentang perkembangan pers di Indonesia. Diorama yang ada menjelaskan tentang masing-masing era. Misalnya saja pada zaman prasejarah, zaman penjajahan Belanda di Indonesia, penjajahan Jepang, zaman awal kemerdekaan, era orde baru,  serta masa reformasi.


Selain barang-barang koleksi dan diorama, ada pula koleksi Monumen Pers yang lain. Koleksi yang ada antara lain koleksi artikel-artikel jurnalisme, surat kabar-surat kabar dari berbagai era seperti zaman sebelum kemerdekaan, setelah kemerdekaan, serta surat kabar lainnya yang pernah singgah sebagai sejarah pers di Indonesia.

Saturday, 24 May 2014

Laporan Kunjungan ke Lokananta

Senin 12 Mei 2014, kami mahasiswa-mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi UGM melakukan kunjungan ke Solo. Berkaitan dengan mata kuliah kami yaitu Sejarah Ilmu Komunikasi dan Media, kami memiliki dua destinasi dalam rangkaian study tour ini. Tempat pertama yang kami kunjungi di Solo adalah Lokananta. Setelah Lokananta, kami melanjutkan kunjungan ke Monumen Pers.

Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Lokananta. Lokananta adalah perusahaan rekaman tertua di Indonesia. Berangkat dari berbagai macam rekaman seperti pidato sampai lagu, Lokananta masih berdiri hingga kini sebagai perusahaan rekaman. Lokananta bisa dikatakan sarana yang dapat menyatukan dan menghubungkan Indonesia. Berbagai daerah di Indonesia bisa saling menjangkau dan mengenal kebudayaan satu sama lain salah satu alasannya karena keberadaan Lokananta ini. Dalam kunjungan ke Lokananta, dijelaskan seputar sejarah dari Lokananta sendiri.

Berawal dari para sesepuh yang memiliki keinginan untuk menyatukan kesenian-kesenian yang tersebar sehingga bisa dinikmati oleh orang-orang se-Indonesia. Lokananta lahir secara resmi pada tanggal 28 Oktober 1956. Tujuan utama didirikannya Lokananta ini sebenarnya mentranskrip berita RRI dari RRI pusat, lalu digandakan menggunakan piringan hitam dan kemudian didistribusikan ke RRI per daerah. Lalu pada tahun 1960-an, kegiatan yang dilakukan Lokananta berkembang. Tidak hanya mensuplai siaran RRI, Lokananta sudah mulai mendapat hak untuk mengkomersialkan produk rekaman. Saat itu Lokananta berada di bawah Departemen Penerangan.

Seiring dengan perkembangan zaman, piringan hitam mulai berkurang kepopuleran dan eksistensinya. Hingga pada tahun 1972, Lokananta tidak lagi memproduksi piringan hitam. Produksi rekaman Lokananta sudah beralih ke bentuk kaset. Perkembangan Lokananta kembali terlihat pada tahun 1980-an, dimana pemerintah memberi kewenangan untuk mengkomersialisasikan video dengan berbagai format.

Kesulitan juga pernah dialami oleh Lokananta, yaitu pada tahun 1998, disaat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membubarkan Departemen Penerangan. Lokananta yang berada di bawah Departemen Penerangan pun akhirnya dilikuidasi sampai dengan tahun 2001. Setelah itu Lokananta resmi menjadi bagian dari Perum Percetakan Negara pada tahun 2004. Namun kegiatan di bidang percetakan hingga saat ini masih dalam proses. Kala itu Lokananta memiliki visi yaitu sebagai pusat multimedia Indonesia bagian Surakarta.
          
Pada tahun 1970-1980an baru ada studio di Lokananta. Musisi pertama yang melakukan rekaman di Lokananta adalah Upit Sarimanah, penyanyi asal Sunda. Fungsi adanya studio di lokananta yaitu untuk mengisi materi, visi dan misi kebudayaan, serta rekaman seniman-seniman musik seperti Waldjinah, Gesang, dan lain-lain. Dulu, untuk memproduksi suatu rekaman, Lokananta mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Lokananta dalam sejarahnya juga memiliki pencapaian atau prestasi. Pencapaian tersebut antara lain pencetakan lagu Indonesia Raya untuk pertama kali dilakukan di Lokananta, selain itu ada pula pidato-pidato Bung Karno yang juga disimpan sebagai arsip hingga kini. Di era yang modern ini, Lokananta juga dipakai rekaman oleh beberapa seniman ternama masa kini seperti Glen Fredley, White Shoes, dan lain-lain. Format rekaman yang diproduksi pun bisa audio maupun video.

Karena berhubungan dengan sejarah-sejarah bangsa, Lokananta menyimpan beberapa arsip nasional. Namun karena sebagian besar adalah bentuk visual, maka Lokananta hanya menyimpan. Lokananta yang dulu dan sekarang pun berbeda. Dahulu Lokananta berada di bawah Departemen Penerangan, namun sekarang sudah BUMN. Misalnya saja gedungnya. Dulu Gedung Lokananta pernah 10 tahun tidak beroperasi, lalu mendapatkan subsidi untuk renovasi dan lain sebagainya. Dalam hal persaingan dengan studio lain, Lokananta memiliki perbedaan tersendiri dan dapat diakui sebagai keunggulan. Lokananta memiliki mixer yang berbeda dengan studio-studio lain.

Di Lokananta juga ada kegiatan re-mastering. Re-mastering ­adalah kegiatan merekam ulang rekaman master ke dalam bentuk digital. Kegiatan ini dilakukan untuk rekaman siaran RRI terdahulu. Tujuan dilakukannya re-mastering yaitu agar rekaman siaran lama yang masih berupa vinyl atau piringan hitam tidak rusak dimakan usia. Semua rekaman siaran berupa piringan hitam diambil dari semua RRI se-Indonesia, lalu dikumpulkan di RRI pusat, dan disimpan di Lokananta. Sejak tahun 2004, penyimpanan ini terasa tidak terlalu optimal. Oleh karena itu lah master secepatnya digitalkan lewat proses re-mastering supaya tidak rusak. Proses re-mastering ini dilakukan sejak 2004-2007. Saat ini proses ini sudah mencapai 95%, 5% sisanya hanya proses perapian saja. Cara re-mastering  yaitu petugas harus mendengarkan ulang rekaman, lalu mendigitalisasikan dari bentuk piringan hitam atau pita kaset menjadi digital. Selama proses re-mastering ini, sudah ada sekitar 5000-an master yang didigitalisasikan.

Bangunan dari Lokananta sendiri disesuaikan dengan fungsinya. Misalnya saja ruangan studio yang cukup besar memakai bahan dinding yang kedap suara. Arsitektur dan desain ruangan studio juga kreatfi dengan adanya kayu dan bahan-bahan berbentuk kotak serta lingkaran yang menempel di dinding. Hal ini dikarenakan pantulan suara pada sudut 90 derajat lebih baik daripada pada permukaan yang datar. Selain itu design keseluruhan bangunan masih seperti bangunan lama. Hal ini mendukung esensi khas pada Lokananta.

Friday, 25 April 2014

Lights, Red, and Green... (I miss that December)

[Taken from my previous post (Dec 15th, 2013). Menggambarkan kerinduan mendalam akan sebuah momen di bulan Desember]

Lights...
Cahaya kekuningan kecil banyak menerangi seluruh ruangan itu. Ruangan luas penuh dengan kursi merah busa yang menghadap ke stage. Suara berisik obrolan dan langkah kaki ratusan murid berderap, diselingi dengan bunyi dentingan lift setiap beberapa menit sekali. Alunan musik bertempo pelan dimulai, mengisi 10-15 menit proses semua duduk anteng di barisan kelas masing-masing. Those lights... felt different. Lampu kuning, langit-langit putih, dinding kedap suara berwarna biru tua dengan jendela berpenutup kayu setiap sekitar 1 meter. Beberapa AC besar dengan kaca penutup berembun yang disangsangi beberapa shuttlecock, ruangan besar bertribun berisi dengan hampir 1000 manusia tetap terasa dingin. Saat itu Desember, beberapa jendela tidak tertutup kayu penutupnya. Di luar mendung, hampir hujan. Embun.. hanya embun sejuk di benakku saat ini, mengingat Desember itu, ruangan itu, orang-orang itu...

Rok dan celana panjang bahan warna abu kehijauan nyrempet warna telur asin, kemeja putih longgar yang (enaknya) ga usah dimasukin ke rok/celana, ditambah rompi abu-abu bergaris merah membentuk pola kotak-kotak yang dikancingi, pas sekali di badanku. Di pagi mendung berembun basah dengan ruangan luas berAC banyak itu, outfit ini terasa pas. Sampai beberapa jam itu di sekolah aku masih berasa baru selesai mandi, masih segar, tapi rasanya sedikit kedinginan, ditambah faktor sugesti dengan kondisi lingkungan yang seadem itu. Aku selalu berangkat sama Syexi. Dia selalu mengantarku setiap hari, di setiap pagi cerah yang mendung dan basah berembun itu. Setiap pagi kacanya berembun, kalau aku keluar atau buka jendela, kacamataku pun berembun. 45 menit di pagi hari, mendengar radio siaran pagi JakFM sambil kedinginan menggigil memegang erat stir Syexi. She seemed chilled as well, but she always be there for me to hold on with. Desember itu, Syexi selalu membawakanku jas biru dongker berlambang OSIS SMAK 1, sekolahku, almamaterku kini. Yap, jas berbahan dingin nan tebal walaupun hanya karena berfuring, best fabric in such situation.

Red...
Tulisan merah besar sebesar spanduk terlihat jelas di depan mata. Berbagai hiasan merah. Kertas krep, bola-bola merah, topi berujung bola bulu putih. Kertas krep merah... Dipasang menghiasi, menghubungkan jendela-jendela. Pintunya... Ada hiasan... Lagi-lagi merah. Kursi-kursi yang memenuhi ruangan? Merah.
Tapi ngga merah buat baju mereka. Mereka berwarna biru. Aku lupa persis harinya. Kalau senin itu seragam. Hari lain selain kamis dan jumat (kalau ga salah sih tiap rabu) biru muda polos, warna ngademi, seragam sih, tp yaudalah.. lucu, ada kantongnya kanan kiri, sama seperti rompi kami, kantongnya kotak. Yaps, rombongan (kyknya kalo ga kamis/jumat) biru itu berdiri di ambang pintu, di luar ruangan, di dalam ruangan bagian belakang dekat pintu, dan di lift jatah-jatah terakhir. Oh iya, lift itu... bergetar dan bersuara kencang setiap naik melewati lantai 6-7. Kita menuju lantai 8, limit lift? belasan... isi real? 20an, "yang ini unlimited kok, muat muat". Apa yang terjadi? Lantai 5... Lantai 6... "KREEKKK" " AAAARRGGHH!"... Lantai 7... "TENGGG" "Hahhhhh?!" *gigglescontinue*... Lantai 8 "Ting..." What was I thinking jelang lantai 7? "fakk men u've been through this shit million times, besides, 20an, okayyy pretty good hahaa, what'an achievement", yakk aku memang punya rasa bangga tersendiri sama lift berkaca peot-peot ini, yang bikin muka gue lonjong, peot, dan gepeng at the same time tiap kali ngaca. Sedihnya gue uda ninggalin 2 lift berkaca peot itu padahal mereka baru. Pas masih fresh2nya, pak HD sempet nyuru foto2 dulu di dlm lift baru, tapi baru nyadar skrg, itu blm kesampean...

Musik? makin keras... 2 cewe (biasanya) muncul, "Syalom teman-teman!", bikin kaget? iya. We were talking each other pake volume reguler cuman kan seaula did the same fuckin thing jd ya rame bgt. Musik memelan, makin melow. Oiya, musik apa? tepatnya suara keyboard pake sound (kayaknya) grandpiano, melantunkan beberapa lagu rohani dibikin instrumental piano solo dan dibikin selo. Ga lama kok syalom2annya, muncul seseorang naik stage, "Yak pak/bu pendeta, para guru, dan murid yang saya kasihi, saya Yus Insan, mari kita berdoa..." *berdoa* trus nyanyi lagu rohani yang agak semangat kyk Bersorak-sorai Bagi Rajamu, dsb *eaak gue msh inget* I always remember this part. Guru mondar mandir. Tengok-tengok kita nyanyi apa ngga. I never nyanyi. It's forbidden in my religion of view, and I obey it. Tp demi kelancaran dan kebahagiaan bersama, kadang bibir joget-joget sendiri. Welp, yaa kadang emg ikut nyanyi, but I never mention any holly words they use. Fair enough, huh?

Green...
Green? itu di depan... on the stage, mainstreamest thing ever in December. You know it... Christmas Tree :) Lengkap sama hiasan-hiasannya, kado-kado natal boongan berbungkus warna-warni, mengkilap, bikin orang craving to grab one and find out what's inside *yang sayangnya semua orang tau itu cuma kardus kosong*. Ga cuma itu... There's no christmas essential without the red-green duet. Yaps, dimana ada merah, disitu ada hijau, dan sebaliknya. Even di tulisan sebesar spanduk diatas, ada hijau.

As always, in each and every service, pasti ngantuk *maaf*. Kalo ga salah sih pencapaian semasa SMAku salah satunya ya ini, never 100% awake during the services. Pasti ada aja sesi tidurnya. And remember! It was December! Remember the sky outside? Embun pagi? Butiran air bekas hujan semalam? Ditambah dengan *maaf saya memang ga selalu dengerin* khotbah pak/bu pendeta yang kadang memang melow. Bikin mager kalo disuru berdiri...

But I miss that December. Desember dimana ga cuma ada kebaktian pagi gitu yang dilakukan annually, tapi ada juga kebaktian/perayaan natal dimana kita pake baju bebas nuansa merah/hijau. Yang paling aku suka, itu usually held di tengah2 jadwal libur, when uda brp hari ga meet up friends dan bisa ketemu lagi + foto2 di kelas dan dapet makan minum gratis, biasanya sih mekdi/jco. 1 hal rancu yang ga teringat tapi kebayang, yang ada di ruang itu, di bulan Desember, pada perayaan itu, di pagi cerah mendung habis hujan dan berembun...It smells good, something good.


p.s : Idk if I miss highschool, but I miss that December. No offense dan maaf kalo dari sini ketauan gue seenaknya at the services, but I love it though. I love being there. Doesnt mean gue murtad kan? I am a Moslim, I believe and I obey every single terms and condition in it. But being in the part of them, the community, or should I say family *yang ga sepenuhnya kukenal* I feel something, and I love it. Tp semua uda lewat kok, buat siapapun yang ever concern about me joining that family, tenanglah, skrg aku udah tau kok rasanya masuk kelas agama Islam hahaha... I have a new family now, it's different indeed. But I always believe, differences are good.

Kenyataan di Balik Topeng

Bertahun-tahun kalian singgahi negeri ini
Kalian menetap disini, di tanah air ini
Kalian sama-sama berusaha
Kalian garap tanah ibu pertiwi
Kalian pertahankan bangsa ini,
bahkan sejak datang mereka, serdadu itu...

Lihat! Dalam sejarah kalian melawan
Melawan, mengusir mereka
Mereka yang ingin merampas
Merampas, merebut potensi negeri kita

Hei kalian manusia yang dipertemukan oleh nasib!
Dipertemukan di Indonesia ini
Aku tahu kalian berbeda
Aku tahu kalian menyadarinya
Aku tahu kalian berbudaya
Berbeda budaya kalian

Tak ingatkah dengan sejarah yang terukir jelas di negeri ini?!
Sejarah kalian melawan bersama, para serdadu itu...

Lalu apa yang terjadi kini..?!
Tidak!
Apa yang terjadi sejak dulu...
Bahkan luka itu masih menganga hingga kini
Kalian satu bangsa! Satu Indonesia...
Sadarkah akan perilaku kalian selama ini?
Bagaimana kalian memperlakukan sesama?
Adil kah?! Baik kah?!

Rasis!
Rasis dimana-mana...
Etnis memang berbeda, aku tahu!
Aku tahu! Aku tahu!
Siapa aku? Aku kalian!

Seorang saksi hidup berdarah campur
Aku hidup diantara kalian
Bertahun-tahun aku hidup,
ayah ibu pun berbeda kubu
Lalu dimana aku?

Aku merasakan! Aku memerhatikan...
Satu ketenangan kutemukan di tengah gejolak etnis
Reformasi...
Satu hal kecil yang mengawali perdamaian besar,
walau hanya berupa topeng dan rangkaian omong kosong...
Namun sejak runtuhnya orde baru, terbawa titik cerah yang mengawali perdamaian etnis

Memang... Masih ada kalian-kalian yang rasis
Saling memandang satu sama lain dengan tatapan itu
Tatapan penuh intimidasi seraya mulut menyapa, menyampaikan pesan damai
Aku tahu! Tak jarang itu semua hanya kedok belaka!
Ini zaman modern! “Aku tak mau dibenci masyarakat, aku mau menjadi masyarakat”
Topeng itu!
Perdamaian semu, semua dibalik topeng itu!

Sadarlah! Sadarlah!
Aku ini saksi hidup!
Aku ini kalian... Menangis, meratapi nasib ditengah gejolak etnis penuh drama
Zaman modern?! Perdamaian abadi? Satukan negeri ini?!
Alasan belaka...
Namun itu... Itulah alasan kalian berdamai
Topeng itulah sumber ketenangan orang-orang sepertiku di tengah kalian

Mengapa?
Mengapa topeng?
Sudah bertahun-tahun sejak topeng itu muncul, tp mengapa?!
Masih banyak dari kalian yang memakai topeng itu hingga kini
Kutemui banyak yang berdamai
Ada yang memakai topeng, ada yang tidak...
Lihat saudaramu yang membuang topengnya dan mencoba menerima kenyataan!
Hapuskan air mata bangsa dan permusuhan etnis ini...

Apalah gunanya topeng itu?
Topeng usang yang kalian pakai sejak dulu
Bukalah! Lihatlah dunia ini, bangsa ini...
Saudaramu telah menerima kenyataan!

Coba tatap wajah-wajah diseberang
Berbeda? Ya!
Itulah kalian, itulah mereka, itulah aku...

Apalah rasa dibalik topeng itu?
Buka!
Kenyataan di depan mata, siapa yang membuka topeng terlebih dulu?
Kau! Kalian! Dia! Mereka!
Aku disini menunggu...

Menunggu kenyataan di balik topeng itu

Tuesday, 19 November 2013

Nothing Else Matters : Lagu Cinta, Jiwa Sang Legenda


Salah satu band metal asal Amerika Serikat, Metallica, pernah merilis album yang didalamnya terdapat lagu yang berjudul Nothing Else Matters. Dari judulnya saja bisa diartikan “tidak ada hal lain yang penting”, dan memberi kesan bahwa sepertinya lagu ini memiliki makna lirik yang sedikit galau. Siapa sangka, band metal yang biasanya membawakan lagu-lagu dengan musik yang keras ini juga mampu melahirkan lagu yang slow dan bermakna dalam. Dirilis pada tahun 1992, tepatnya di era 90-an, dimana memang sedang marak-maraknya musik rock. Metallica sendiri tidak melewatkan kesempatan untuk membuat lagu yang lebih condong ke arah slow rock, apalagi melihat penikmat musik kala itu memang tidak seluruhnya benar-benar tertarik pada musik rock yang keras seperti heavy metal atau trash metal yang biasanya dimainkan dan merupakan ciri khas dari band Metallica sendiri. Ditambah dengan persaingan pasaran musik dengan band-band beraliran rock lain yang banyak menghadirkan banyak lagu-lagu slow rock pada era tersebut.

Dalam album yang bertajuk Black Album tersebut, lagu Nothing Else Matters memang terbilang mencolok karena terkesan berbeda dengan lagu-lagu lainnya. Walaupun terdapat lagu lain yang termasuk dalam genre slow rock dalam album tersebut, yaitu  The Unforgiven, namun Nothing Else Matters lebih disukai oleh para pendengar musik, terutama para fans Metallica, mungkin karena kisah dan makna, serta kata-kata yang terkandung dalam liriknya. Dengan bahasa yang mudah  dan bermakna, lagu ini ditulis oleh penyanyi sekaligus gitaris ritme dari Metallica, James Hetfield, ini berawal dari kejadian dimana Hetfield sedang menelpon pacarnya kala itu, sambil memetik 4 senar pada chord E-minor lepas, sehingga terambillah nada dari 4 senar tersebut sebagai intro lagu. Kunci-kunci minor seperti ini memang sering digunakan di dalam lagu-lagu Metallica, dilengkapi dengan metode yang khas yaitu petikan akustik di awal lagu, sangat menunjukkan bahwa ini adalah ciri khas dari lagu-lagu Metallica. Lirik awal yang berbunyi, “So close no matter how far”, juga didedikasikan Hetfield bagi pacarnya itu, yang menunjukkan ikatan hubungan mereka seberapa jauh pun Hetfield sedang tur. Lagu ini lebih condong ke kisah cinta, dengan perjuangan dan tekad. Hal tersebut digambarkan secara jelas dalam lirik dan musik, khususnya dalam pengembangan nada instrumen-instrumen yang ada dari awal hingga akhir lagu. Berbeda dengan album-album sebelumnya yang mengangkat tema perang, keadilan, dan kemanusiaan seperti album Justice For All dan Master of Puppets.


Sebagai legenda, Metallica masih eksis di kalangan pecinta musik rock, terutama pecinta rock era 80-90an. Karya-karyanya merupakan masterpiece, Nothing Else Matters adalah salah satunya. Pada saat konsernya di Gelora Bung Karno (GBK) bulan Agustus 2013 lalu, ditengah-tengah sejejeran lagu metal yang “keras”, lalu Hetfield memimpin bandnya itu untuk melantunkan Nothing Else Matters. Atmosfer di GBK saat itu pun seketika berubah. Dari gaya headbanging dan lompat-lompat serta membuka kaos, para fans Metallica langsung luluh mendengar petikan 4 senar kunci E-minor yang dimainkan Kirk Hammet, sang gitaris. Seluruh isi GBK pun ikut bernyanyi melantunkan lirik dalam tersebut bersama Hetfield. Bahkan pada akhir konser banyak yang meng-share tulisan di twitter maupun facebook fan page Metallica dan mengaku bahwa mereka (para fans yang menonton di GBK waktu itu) sampai menitikan air mata saat lagu itu berkumandang. Lagu ini semacam jiwa dari sang legenda, Metallica. Band beranggotakan 4 orang ini berhasil menghidupkan dan memberi jiwa pada musik rock, sampai masih eksis saja di zaman sekarang, dengan usia Nothing Else Matters sendiri yang sudah mencapai 21 tahun.

Monday, 18 November 2013

Review Tanah Surga… Katanya : Nasionalisme Bangsa di Perbatasan

Judul                 : Tanah Surga… Katanya
Produser  Bustal Nawawi, Deddy Mizwar, Gatot Brajamusti
Sutradara : Herwin Novianto
Pemeran   : Osa Aji SantosoFuad Idris,Ence Bagus, Astri Nurdin, Tissa Biani Azzahra, Ringgo Agus Rahman, Andre Dimas Apri






Indonesia sepertinya sedang zaman-zamannya memproduksi film dalam negeri yang bertemakan kebangsaan. Seperti halnya film Nagabonar Jadi 2 dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini),Tanah Surga… Katanya yang juga diproduseri oleh Deddy Mizwar ini masih mampu bersaing di pasaran di tengah-tengah arus maraknya film serupa. Dengan latar yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Kalimantan di perbatasan Indonesia- Malaysia, film yang disutradarai oleh Herwin Novianto ini cukup menarik, terutama di bagian penekanan inti dari film ini sendiri, yaitu semangat kebangsaan atau nasionalisme. Hal seperti ini memang sedang dibutuhkan masyarakat Indonesia agar sadar akan bangsa ini. Dan penyajian dalam bentuk film seperti ini sangat membantu karena lebih menarik untuk dilihat dan dipelajari orang.

Tanah Surga... Katanya bercerita tentang kehidupan di perbatasan Kalimantan-Serawak, bagaimana pendidikan dan nasionalisme masyarakat setempat yang terpengaruh dengan letak geografis yang berdekatan dengan negara orang, serta merupakan tempat terpencil yang sulit dijangkau. Di film ini dikisahkan seorang kakek bernama Hasyim (Fuad Idris) yangmerupakan mantan pejuang dan memiliki nasionalisme tinggi dan sangat cinta pada ibu pertiwi, namun memiliki anak, Haris (Ence Bagus), yang malah lebih berkiblat ke negeri sebelah karena sudah mapan berdagang di Malaysia. Beruntung 2 cucu Hasyim yang sering diceritakan tentang perjuangan bangsa oleh kakeknya itu, menjadi nasionalis juga. Namun Haris dengan nasibnya yang bagus di Malaysia berniat mengajak ayah dan kedua anaknya pindah ke Malaysia. Hasyim menolak dan membuat Salman (Osa Aji Santoso), putra Haris, dilema karenaia ingin bersama kakeknya. Akhirnya Haris hanya membawa putrinya, Salina (Tissani Biani Azzahra), pindah ke Malaysia. Di beberapa adegan film diperlihatkan kecintaan yang dalamterhadap tanah air, misalnya di saat Salman, rela menukarkan sarung yang baru dibelinya dengan bendera merah-putih usang yang dipakai pedagang di Malaysia untuk membungkus dagangannya.

Film ini sedikit mirip dengan film Laskar Pelangi. Yaitu di bagian dimana dijelaskan bahwa pendidikan yang ada memiliki banyak keterbatasan, baik fasilitas, maupun tenaga mengajar.Kesamaan juga ditemui pada salah satu penyebab adanya keterbatasan tersebut, yaitu karena desa yang ada dalam kisah ini merupakan desa terpencil dan sulit dijangkau. Dalam Tanah Surga... Katanya, diperlihatkan adanya 2 angkatan yaitu kelas 3 dan 4 SD dalam 1 ruangan kelas dimana hanya terdapat 1 orang guru, yaitu Ibu Astuti (Astri Nurdin). Dalam film ini diperlihatkan bahwa murid-murid yang ada di ruang kelas tersebut bahkan tidak mengetahui bagaimana bentuk bendera merah-putih yang benar. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun mereka tidak tahu karena sudah setahun mereka tidak bersekolah sebelum Ibu Astuti datang mengajar. Hal ini merupakan gambaran betapa mirisnya nasib bangsa, ditambah lagi dengan mata uang yang dipakai di desa itu adalah ringgit, bukan rupiah. Sungguh menggambarkan kurang kentalnya identitas bangsa di daerah itu, daerah terpelosok  yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah pula. Ada pun adegan yang menceritakan bahwa ada kunjungan pejabat ke desa itu. Si pejabat (Deddy Mizwar) yang mulanya mau memberikan tambahan fasilitas bagi sekolah Salman, menarik kembali niatnya hanya karena mendengar puisi karagan Salman yang berbunyi,
Bukan lautan hanya kolam susu .. katanya.
Tapi kata kakekku, hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu.
 
Kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui .. katanya.
Tapi kata kakekku, ikannya diambil nelayan-nelayan asing.
 
Ikan dan udang datang menghampirimu .. katanya.
Tapi kata kakekku, ssstt.. ada udang di balik batu.
 
Orang bilang tanah kita tanah surga .. katanya.
Tapi kata dokter intel, yang punya surga cuma pejabat-pejabat.
 
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman .. katanya.
Tapi kata dokter intel, kayu-kayu kita dijual ke negara tetangga.
 
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman .. katanya.
Tapi kata kakekku, belum semua rakyatnya sejahtera, banyak pejabat yg menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri”.
Puisi tersebut rupanya menyinggung perasaan si pejabat dan akhirnya membatalkan bantuan yang tadinya akan diberikan si pejabat. Bagaimana nasib sekolah di desa itu apabila sumber bantuannya saja tidak memiliki rasa nasionalisme dan kebangsaan yang cukup?

Film ini tergolong bagus dan bisa menyadarkan penonton akan semangat kebangsaan dan nasionalisme. Dengan ceritanya yang benar-benar menunjukkan dengan jelas bagaimana kehidupan penduduk Indonesia yang ada di perbatasan, ditunjukkan bahwa masih banyak penduduk di desa-desa yang kurang diperhatikan, padahal mereka membutuhkan perhatian lebih, terlebih dalam pendidikan kewarganegaraan supaya mereka bisa lebih mengenal Indonesia sebagai tanah air mereka. Ditambah lagi dengan banyak terjadi krisis identitas seperti Haris yang berniat untuk pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia. Namun dalam penyampaian pesan dari film ini sendiri, tetap terdapat unsur-unsur menarik dalam film supaya penonton tertarik. Contohnya saja terdapat beberapa unsur komedi, serta adanya kisah cinta antara Ibu Astuti dan Dokter Anwar (Ringgo Agus Rahman). Selain itu, akhir ceritanya pun baik, dimana ditekankan kembali pesan dari film ini, yaitu pada adegan saat Hasyim sekarat, Harris yang ada di Malaysia malah sedang menonton pertandingan sepak bola antara Indonesia-Malaysia, dan ia mendukung tim Malaysia. Lalu pada detik-detik wafatnya, Hasyim berpesan pada Salman,
"Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu kehilangan rasa cinta pada negeri ini."