Pada puncak Hari Pers Nasional di Manado pada 11 Februari
lalu, terdapat beberapa tokoh yang mempersoalkan hubungan independensi pers
dengan campur tangan pemilik. Contohnya saja Bung Margiono selaku Ketua Umum
PWI. Selain Bung Margiono, ada pula Menteri Tifatul Sembiring yang juga
mempersoalkan hal yang sama sehubungan dengan independensi pers. Di sisi lain,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato kepada pemilik dan manajemen media
sebagai gugatan atas profesionalisme dan independensi pers. Padahal seharusnya
gugatan tersebut tidak hanya ditujukan pada media, melainkan kepada negara,
regulator media dan pemerintah.
Media di Indonesia tergolong elitis, dan yang paling elit
yaitu media cetak. Jumlah media cetak di Indonesia adalah 1.324 buah dan masih
tergolong sangat kecil. Jauh dari standar minimal UNESCO antara media cetak dan
penduduk yakni 1:10. Di Indonesia, penyebaran media serupa juga dilakukan
dengan internet. Walaupun pemakaian internet tumbuh pesat, namun di Indonesia
penetrasinya hanya 24,23%. Presentase tersebut masih tergolong rendah apabila
dibandingkan dengan penetrasi pemakaian internet di negara maju yang mencapai
lebih dari 70%. Sama halnya dengan stasiun televisi yang baru menjangkau 78%
penduduk, dimana hanya 67% diantaranya yang memiliki akses.
Salah satu regulasi media yang terdapat di negara demoratis,
yaitu media yang tidak menggunakan wilayah publik atau frekuensi. Media semacam
ini memiliki pengaturan sendiri oleh penerbit dan organisasi pers. Adapun
beberapa hal tentang pers di Indonesia yaitu terjaganya kemerdekaan pers,
peningkatan kualitas wartawan, serta penyelesaian sengketa terkait pers,
merupakan tugas dari Dewan Pers Indonesia. Namun hal-hal yang dilakukan dewan Pers tersebut masih dinilai kurang beberapa
pihak.
Selain itu ada pula media yang menggunakan wilayah publik atau
frekuensi, contohnya radio dan televisi. Pengaturan dari media semacam ini
ketat. Namun yang terjadi adalah isinya relatif seragam dan terjadi pemusatan
kepemilikan. Di Indonesia terdapat regulator utama dunia penyiaran yang disebut
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menyangkut
persoalan isi, KPI telah memberi banyak sanksi. Namun untuk independensi KPI
harus lebih tegas dan menjaga media tetap netral saat pemilu nanti.
Introspeksi oleh pers Indonesia dan peningkatan peran
regulator perlu dilakukan dengan adanya pelanggaran pernyataan pemerintah bahwa
seseorang atau badan hukum hanya boleh memiliki paling banyak 2 stasiun
televisi berbeda di 2 provinsi berbeda.