Tuesday, 22 October 2013

Independensi Pers Kurang, Gugat Pers atau Pemerintah?

Pada puncak Hari Pers Nasional di Manado pada 11 Februari lalu, terdapat beberapa tokoh yang mempersoalkan hubungan independensi pers dengan campur tangan pemilik. Contohnya saja Bung Margiono selaku Ketua Umum PWI. Selain Bung Margiono, ada pula Menteri Tifatul Sembiring yang juga mempersoalkan hal yang sama sehubungan dengan independensi pers. Di sisi lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato kepada pemilik dan manajemen media sebagai gugatan atas profesionalisme dan independensi pers. Padahal seharusnya gugatan tersebut tidak hanya ditujukan pada media, melainkan kepada negara, regulator media dan pemerintah.

Media di Indonesia tergolong elitis, dan yang paling elit yaitu media cetak. Jumlah media cetak di Indonesia adalah 1.324 buah dan masih tergolong sangat kecil. Jauh dari standar minimal UNESCO antara media cetak dan penduduk yakni 1:10. Di Indonesia, penyebaran media serupa juga dilakukan dengan internet. Walaupun pemakaian internet tumbuh pesat, namun di Indonesia penetrasinya hanya 24,23%. Presentase tersebut masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan penetrasi pemakaian internet di negara maju yang mencapai lebih dari 70%. Sama halnya dengan stasiun televisi yang baru menjangkau 78% penduduk, dimana hanya 67% diantaranya yang memiliki akses.

Salah satu regulasi media yang terdapat di negara demoratis, yaitu media yang tidak menggunakan wilayah publik atau frekuensi. Media semacam ini memiliki pengaturan sendiri oleh penerbit dan organisasi pers. Adapun beberapa hal tentang pers di Indonesia yaitu terjaganya kemerdekaan pers, peningkatan kualitas wartawan, serta penyelesaian sengketa terkait pers, merupakan tugas dari Dewan Pers Indonesia. Namun hal-hal yang dilakukan dewan Pers tersebut masih dinilai kurang beberapa pihak.

Selain itu ada pula media yang menggunakan wilayah publik atau frekuensi, contohnya radio dan televisi. Pengaturan dari media semacam ini ketat. Namun yang terjadi adalah isinya relatif seragam dan terjadi pemusatan kepemilikan. Di Indonesia terdapat regulator utama dunia penyiaran yang disebut Komisi  Penyiaran Indonesia (KPI). Menyangkut persoalan isi, KPI telah memberi banyak sanksi. Namun untuk independensi KPI harus lebih tegas dan menjaga media tetap netral saat pemilu nanti.

Introspeksi oleh pers Indonesia dan peningkatan peran regulator perlu dilakukan dengan adanya pelanggaran pernyataan pemerintah bahwa seseorang atau badan hukum hanya boleh memiliki paling banyak 2 stasiun televisi berbeda di 2 provinsi berbeda.

No comments:

Post a Comment