Sunday, 25 May 2014

Laporan Kunjungan Ke Monumen Pers Nasional

Destinasi ke-2 study tour setelah Lokananta yaitu Monumen Pers. Kunjungan ini sekaligus mengakhiri perjalanan kami di Solo. Monumen Pers merupakan tempat yang cukup lengkap soal dunia jurnalisme. Di dalamnya terdapat banyak hal seputar jurnalisme dan sejarahnya. Terdapat semacam museum pers di Monumen Pers dengan koleksi-koleksi dan diorama-diorama seputar sejarah pers. Tidak hanya memperlihatkan koleksi-koleksi, di dalam Monumen Pers juga terdapat perpustakaan.

Gedung Monumen Pers cabang Surakarta awalnya adalah Rumah Makan. Lalu diresmikan menjadi Monumen Pers Nasional pada tanggal 9 Februari 1978. Peresmian tersebut dihadiri oleh Presiden Soeharto. Selanjutnya, Monumen Pers Nasional ini dikelola oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers. Dalam perkembangan berikutnya, yaitu pada tahun 2002, Monumen Pers Nasional ditetapkan menjadi  Unit Pelaksana Teknis di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Saat ini, Monumen Pers berdiri dia atas sebuah lahan dan mencakup empat unit bangunan permanen. Masing-masing satu gedung induk untuk Convention Hall, dua unit berlantai dua. Lalu ada lagi satu gedung di belakang yang diperuntukkan sebagai ruang perkantoran.

Di dalam Monumen Pers terdapat banyak koleksi yang berhubungan dengan sejarah pers. Misalnya saja koleksi mesin pemancar radio, mesin ketik, pakaian dan koleksi sastrawan dan wartawan seperti Trisno Yuwono, Hendro Subroto, H. Sumartoyo, kamera milik Fuad Muhammad Syafruddin, Abdul Anang Hamidan, K. Nadha, dan lain-lain.

Tidak hanya koleksi-koleksi barang saja, diorama juga dipamerkan di dalam Monumen Pers ini. Diorama-diorama yang ada adalah diorama tentang perkembangan pers di Indonesia. Diorama yang ada menjelaskan tentang masing-masing era. Misalnya saja pada zaman prasejarah, zaman penjajahan Belanda di Indonesia, penjajahan Jepang, zaman awal kemerdekaan, era orde baru,  serta masa reformasi.


Selain barang-barang koleksi dan diorama, ada pula koleksi Monumen Pers yang lain. Koleksi yang ada antara lain koleksi artikel-artikel jurnalisme, surat kabar-surat kabar dari berbagai era seperti zaman sebelum kemerdekaan, setelah kemerdekaan, serta surat kabar lainnya yang pernah singgah sebagai sejarah pers di Indonesia.

Saturday, 24 May 2014

Laporan Kunjungan ke Lokananta

Senin 12 Mei 2014, kami mahasiswa-mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi UGM melakukan kunjungan ke Solo. Berkaitan dengan mata kuliah kami yaitu Sejarah Ilmu Komunikasi dan Media, kami memiliki dua destinasi dalam rangkaian study tour ini. Tempat pertama yang kami kunjungi di Solo adalah Lokananta. Setelah Lokananta, kami melanjutkan kunjungan ke Monumen Pers.

Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Lokananta. Lokananta adalah perusahaan rekaman tertua di Indonesia. Berangkat dari berbagai macam rekaman seperti pidato sampai lagu, Lokananta masih berdiri hingga kini sebagai perusahaan rekaman. Lokananta bisa dikatakan sarana yang dapat menyatukan dan menghubungkan Indonesia. Berbagai daerah di Indonesia bisa saling menjangkau dan mengenal kebudayaan satu sama lain salah satu alasannya karena keberadaan Lokananta ini. Dalam kunjungan ke Lokananta, dijelaskan seputar sejarah dari Lokananta sendiri.

Berawal dari para sesepuh yang memiliki keinginan untuk menyatukan kesenian-kesenian yang tersebar sehingga bisa dinikmati oleh orang-orang se-Indonesia. Lokananta lahir secara resmi pada tanggal 28 Oktober 1956. Tujuan utama didirikannya Lokananta ini sebenarnya mentranskrip berita RRI dari RRI pusat, lalu digandakan menggunakan piringan hitam dan kemudian didistribusikan ke RRI per daerah. Lalu pada tahun 1960-an, kegiatan yang dilakukan Lokananta berkembang. Tidak hanya mensuplai siaran RRI, Lokananta sudah mulai mendapat hak untuk mengkomersialkan produk rekaman. Saat itu Lokananta berada di bawah Departemen Penerangan.

Seiring dengan perkembangan zaman, piringan hitam mulai berkurang kepopuleran dan eksistensinya. Hingga pada tahun 1972, Lokananta tidak lagi memproduksi piringan hitam. Produksi rekaman Lokananta sudah beralih ke bentuk kaset. Perkembangan Lokananta kembali terlihat pada tahun 1980-an, dimana pemerintah memberi kewenangan untuk mengkomersialisasikan video dengan berbagai format.

Kesulitan juga pernah dialami oleh Lokananta, yaitu pada tahun 1998, disaat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membubarkan Departemen Penerangan. Lokananta yang berada di bawah Departemen Penerangan pun akhirnya dilikuidasi sampai dengan tahun 2001. Setelah itu Lokananta resmi menjadi bagian dari Perum Percetakan Negara pada tahun 2004. Namun kegiatan di bidang percetakan hingga saat ini masih dalam proses. Kala itu Lokananta memiliki visi yaitu sebagai pusat multimedia Indonesia bagian Surakarta.
          
Pada tahun 1970-1980an baru ada studio di Lokananta. Musisi pertama yang melakukan rekaman di Lokananta adalah Upit Sarimanah, penyanyi asal Sunda. Fungsi adanya studio di lokananta yaitu untuk mengisi materi, visi dan misi kebudayaan, serta rekaman seniman-seniman musik seperti Waldjinah, Gesang, dan lain-lain. Dulu, untuk memproduksi suatu rekaman, Lokananta mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Lokananta dalam sejarahnya juga memiliki pencapaian atau prestasi. Pencapaian tersebut antara lain pencetakan lagu Indonesia Raya untuk pertama kali dilakukan di Lokananta, selain itu ada pula pidato-pidato Bung Karno yang juga disimpan sebagai arsip hingga kini. Di era yang modern ini, Lokananta juga dipakai rekaman oleh beberapa seniman ternama masa kini seperti Glen Fredley, White Shoes, dan lain-lain. Format rekaman yang diproduksi pun bisa audio maupun video.

Karena berhubungan dengan sejarah-sejarah bangsa, Lokananta menyimpan beberapa arsip nasional. Namun karena sebagian besar adalah bentuk visual, maka Lokananta hanya menyimpan. Lokananta yang dulu dan sekarang pun berbeda. Dahulu Lokananta berada di bawah Departemen Penerangan, namun sekarang sudah BUMN. Misalnya saja gedungnya. Dulu Gedung Lokananta pernah 10 tahun tidak beroperasi, lalu mendapatkan subsidi untuk renovasi dan lain sebagainya. Dalam hal persaingan dengan studio lain, Lokananta memiliki perbedaan tersendiri dan dapat diakui sebagai keunggulan. Lokananta memiliki mixer yang berbeda dengan studio-studio lain.

Di Lokananta juga ada kegiatan re-mastering. Re-mastering ­adalah kegiatan merekam ulang rekaman master ke dalam bentuk digital. Kegiatan ini dilakukan untuk rekaman siaran RRI terdahulu. Tujuan dilakukannya re-mastering yaitu agar rekaman siaran lama yang masih berupa vinyl atau piringan hitam tidak rusak dimakan usia. Semua rekaman siaran berupa piringan hitam diambil dari semua RRI se-Indonesia, lalu dikumpulkan di RRI pusat, dan disimpan di Lokananta. Sejak tahun 2004, penyimpanan ini terasa tidak terlalu optimal. Oleh karena itu lah master secepatnya digitalkan lewat proses re-mastering supaya tidak rusak. Proses re-mastering ini dilakukan sejak 2004-2007. Saat ini proses ini sudah mencapai 95%, 5% sisanya hanya proses perapian saja. Cara re-mastering  yaitu petugas harus mendengarkan ulang rekaman, lalu mendigitalisasikan dari bentuk piringan hitam atau pita kaset menjadi digital. Selama proses re-mastering ini, sudah ada sekitar 5000-an master yang didigitalisasikan.

Bangunan dari Lokananta sendiri disesuaikan dengan fungsinya. Misalnya saja ruangan studio yang cukup besar memakai bahan dinding yang kedap suara. Arsitektur dan desain ruangan studio juga kreatfi dengan adanya kayu dan bahan-bahan berbentuk kotak serta lingkaran yang menempel di dinding. Hal ini dikarenakan pantulan suara pada sudut 90 derajat lebih baik daripada pada permukaan yang datar. Selain itu design keseluruhan bangunan masih seperti bangunan lama. Hal ini mendukung esensi khas pada Lokananta.